Andaikan Polda NTB Juga Dapat Mengamankan Grup WhatsApp Keluarga
"Grup WhatsApp Keluarga Harusnya Menjadi Wadah Edukasi yang Tidak Dapat Disamakan Dengan Forum Debat Politik"
Pesta Demokrasi terbesar Indonesia baru saja
dilewati. Ini bisa dikatakan kali pertama Indonesia mengadakan Pemilihan Umum
secara serentak antara Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI), DPR Daerah Provinsi, DPR Daerah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Dari kategori pemilihannya saja, sudah
terbayang bagaimana perbedaan yang akan ada. Pemilihan DPD, pasti akan ada perbedaan
pilihan. Pemilihan DPR RI, tidak bisa dipungkiri lagi. Pemilihan DPRD Provinsi
pun begitu. Ditambah lagi dengan Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota, perbedaan
pilihan sudah pasti tidak akan terbendung. Dan yang paling kontras perbedaannya
adalah pada pilihan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya memiliki dua pilihan.
Jika dibandingkan dengan tahun 2014 lalu, saya merasakan
perbedaan yang besar pada Pemilu 2019 ini. Seperti yang kita tahu, pada tahun
ini Pemilihan Legislatif (Pileg) diadakan serentak dengan Pemilihan Presiden
(Pilpres). Berbeda dengan tahun 2014 lalu, di mana Pilpres diadakan 3 bulan
setelah Pileg.
Jika dilihat dari banyaknya perbedaan yang saya
jabarkan di atas, maka sangat mudah bagi kita untuk mengambil kesimpulan akan
adanya ‘kericuhan’ atau ‘perseteruan’ di antara pemilih atau di tengah
masyarakat yang tengah ‘berpesta’.
Sejak awal ditiupnya pluit Panjang tanda
dimulai babak kontestasi, berbagai cara dilakukan untuk menghadirkan kondisi yang
kondusif dalam masa kontestasi. Hingga hadirlah tagar #KampanyeDamai sebagai
salah bentu komitmen untuk menghadirkan Pemilu yang tenang dan tidak
menghasilkan kericuhan di tengah masyarakat.
Kepolisian Republik Indonesia, atau lebih spesifik
lagi Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) merupakan salah satu
pihak yang tidak ketinggalan mendukung gerakan #KampanyeDamai. Jika dipantau,
sejak tanggal 9 Maret 2019, akun Instagram Polda NTB (@poldaNTB) mula begitu
gencar dan rutin menerbitkan beberapa foto dan poster dengan beberapa kata
kunci seperti, Memerangi HOAX, Kampanye Damai dan Perangi Provokasi.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi
bulan telah dilalui. Kampanye demi kampanye, kunjungan demi kunjungan telah
dilaksanakan. Jika diamati, TNI dan Polri telah berhasil melaksanakan tugasnya
dengan baik. Hampir tidak ada terdengar adanya perseteruan, perpecahan dan
keributan di antara perbedaan yang ada terutama dalam perbedaan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden.
26 Maret 2019, Calon Presiden Nomor Urut 02,
Prabowi Subianto melakukan kampanyenya di Nusa Tenggara Barat. Semuanya berjalan
lancar.
02 April 2019, Calon Wakil Presiden Nomor Urut
01, K.H. Ma’ruf Amin melakukan kampanye di Nusa Tenggara Barat. Kondisinyapun
sama, semuanya berjalan lancar.
Dilanjutkan lagi dengan kampanye Calon Wakil Presiden
02 yang berlangsung di Lombok City Center yang sama kondusifnya juga dengan
kampanye-kampanye sebelumnya.
Semua ini tentu tidak lepas dari peran aktif
Polda NTB serta jajaran-jajaran lainnya yang telah berkomitmen untuk
menghadirkan #KampanyeDamai dan #PemiluNTBAmana.
Hari-hari yang damai di masa kampanye tentu
patut diacungi jempol. Tapi, saya tidak serta merta merasa aman dengan semua
itu. Masih ada kekhawatiran yang saya takutkan. Sempat terbesit dalam pikiran, ‘Nampaknya keributan akan berpuncak pada
hari pencoblosan. Hari di mana sedikit kesalahan dapat dibesar-besarkan, serta
hari dimana kesalahan besar dapat diwajarkan’.
Hari pencobosan merupakan hari paling krusial.
Pada hari ini, saya yakin TNI dan Polri pasti mengerahkan potensi terbaiknya,
temasuk Polda NTB.
Jika diamati, baik secara langsung maupun di
dunia maya. Tidak ada masalah besar yang terjadi dari Ujung Timur Pulau Sumbawa
hingga ujung Barat Pulau Lombok. Masyarakat tampak menikmati ‘Pesta Demokrasi’
yang sedang berlangsung. Masyarakat terlihat saling menerima perbedaan yang
terjadi, sungguh pemandangan yang menyenangkan.
Hal ini memperlihatkan bahwa TNI dan Polri
sukses mengamankan Suara Rakyat hingga ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), bahkan
hingga tahap perhitungan suara.
Sepanjang tanggal 17 April 2019, semunya berjalan
kondusif dari Pagi hari, hingga berlangsung perhitugan cepat / quick count.
Saya yang masih penasaran dengan keadaan ini,
seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ternyata kita bisa juga menjalan
#PemiluDamai di tengah perbedaan yang begitu kontras.
Namun, nampaknya ada satu hal yang saya lupakan.
Ada satu hal yang luput dari pandangan saya. Ternyata di tengah-tengah hari pencoblosan,
terutama pada waktu di mana beberapa TPS telah tutup dan telah memulai
melakukan penghitungan suara, kemudian dilanjutkan dengan adanya perhitungan
cepat quick count yang ditayangkan
secara meluas di televisi dan media social, saya justru menemukan sebuah
masalah. Sebuah masalah yang terlihat kecil, enteng, namun bisa berdampak
besar.
Yah, Grup WhatsApp keluarga adalah salah satu masalahnya. Di saat kondisi di
TPS terlihat kondusif, ketika perhitungan suara berlangsung begitu lancar,
ternyata Grup Whatsapp keluarga begitu liar tanpa adanya pengawasan dan pengamanan.
Yang fanatik dengan salah satu kubu, mulai
saling klaim kemenangan. Belasan foto rekapan hasil hitungan surat suara,
puluhan link-link website, ratusan
kata-kata yang tertaut dalam sebuah cerita dengan begitu mudah dan lancarnya
melintas di grup whatsapp keluarga.
Saya jadi sadar, ternyata masalahnya tidak
terjadi secara makro dan terang-terangan, melainkan berlangsung secara mikro
namun memiliki dampak.
Saya bukannya tidak suka dengan ramainya informasi
yang berputar di grup whatsapp tersebut. Hanya saja, di saat seperti itu, tentu
informasi yang beredar tidak dapat sepenuhnya dapat dipercaya. Gambar-gambar
yang beredar, video-video yang dibagikan, link-link serta cerita-cerita yang
ada tidaklah dapat dipercaya sepenuhnya, apalagi WhatsApp mampu mendeteksi
pesan yang diteruskan.
Kondisi saling klaim dan saling melempar bukti
pendukung yang tidak dapat diverifkasi kebenarannya ini bagi saya memberikan
beberapa dampak yang kurang baik bagi para ‘penghuni’ grup whatsapp keluarga.
Saya berfikir seperti ini, Namanya saja Grup
WhatsApp keluarga, pastinya diisi oleh berbagai kalangan dan berbagai usia. Pasti
ada yang belum dapat memilih, pasti ada yang baru dapat memilih atau disebut
pemilih pemuda, dan pastinya ada yang sudah melakukan pemilihan lebih dari satu
kali.
Bisa dibayangkan ketika ada anak-anak di bawah
17 tahun yang belum bisa memilih, lalu melihat perdebatan dan cara saling klaim
yang tidak berimbang itu? Tentu ini merupakan edukasi yang kurang baik. Bisa jadi
mereka akan berpikir bahwa beginilah seharusnya pemilihan berlangsung.
Atau, bagi mereka pemilih pemula. Mereka yang baru
pertama melakukan perdebatan dalam perbedaan pilihan. Mereka tidak bisa diberikan
gambaran perbedatan kusir yang tidak sopan tidak berbasis pada data.
Dan yang terpenting adalah edukasi terkait
mereka yang baru selesai memilih. Harusnya, yang diajarkan adalah memberikan
contoh bahwa setelah melakukan pemilihan adalah kita melihat dan mengawal
proses perhitungan yang tengah berlangsung serta menanti hingga adanya
pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Lembaga negara yang
dipercaya untuk menyelenggarakan Pemilu.
Edukasi-edukasi seperti itulah yang seharusnya
berlangsung di dalam Grup WhatsApp keluarga.
Sehingga, sempat terbayangkan dalam pikiran
saya.
Bapak/Ibu Jajaran Polda NTB, Di tengah damainya pemilu yang kita lihat. Di tengah semangatnya Polda NTB mengawal #PemiluDamai #PemiluNTBAman, apakah bisa Polda NTB juga mengamankan Grup WhatsApp Keluarga? Hehehe
Bapak/Ibu Jajaran Polda NTB, Di tengah damainya pemilu yang kita lihat. Di tengah semangatnya Polda NTB mengawal #PemiluDamai #PemiluNTBAman, apakah bisa Polda NTB juga mengamankan Grup WhatsApp Keluarga? Hehehe
"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Pemilu
Aman 2019 Bersama Polda NTB" dan dilinkkan ke website :
http://tribratanews.ntb.polri.go.id
Komentar
Posting Komentar